VARIA.id. Jakarta – Seorang pedagang bakso di
kawasan Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, tampak sibuk melayani
pelanggan. Dengan gerobak sederhananya, dia berjualan setiap hari,
mangkal tak jauh dari Depok Town Square.
Cukup mengejutkan, ketika VARIA.id
menanyakan omzet yang dia dapatkan, akhir pekan lalu. Wahyudin, nama
pedagang bakso tersebut, mengaku dalam sebulan mampu mengantongi
pendapatan berkisar Rp 60 juta-Rp 70 juta.
“Nggak mesti, Pak. Kalau malam Minggu paling ramai,” ujarnya.
Usaha kelas gerobakan yang dilakoni Wahyudin, kadang luput dari
perhatian banyak orang. Bahkan, tak sedikit di antara kita yang kerap
memandang sebelah mata usaha mikro ini.
Menurut konsultan keuangan dari Ardana Consulting, Mada Aryanughara,
sektor usaha mikro merupakan pemain kunci ekonomi nasional saat ini.
Pandangan minor terhadap sektor mikro adalah keliru.
Padahal, menurut data Kementerian Koperasi tahun 2012, jumlah jenis
usaha mikro mencapai 56 juta. Mereka adalah sektor yang riil yang juga
ikut menopang perekonomian nasional.
Ciri mikro, biasanya, adalah dorongan. Namun, jangan pernah
menganggap enteng mereka. Mengapa? Karena mereka telah memberikan
lapangan kerja kepada 99,86 juta orang lebih.
“Orang mungkin melihatnya, bisnis seperti ini capek, karena harus
banyak berdiri, banyak keliling. Tapi omzet mereka kadang di luar dugaan
kita,” ujar Mada di Jakarta, Selasa, 21 April 2015.
Menurut Mada, bisnis gerobakan sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya
saja, saat ini sudah dikemas menjadi lebih baik, sehingga tampilannya
lebih menarik. Begitu juga pengelolaannya, sudah lebih menarik
dibandingkan dulu.
Lebih hemat
Tak sedikit usaha gerobakan di pinggir jalan mampu menyejahterakan
anggota keluarganya. Terbukti, banyak di antara mereka yang mampu
menguliahkan anak-anaknya hanya dari usaha gerobakan.
Menurut Mada, dibandingkan dengan usaha yang memiliki tempat khusus,
misalnya ruko atau kios, usaha gerobakan justru lebih hemat pengeluaran.
Jika usaha di ruko harus mengeluarkan uang sewa, uang bayar listrik,
dan investasi perlengkapan meja kursi makan, usaha gerobakan tidak perlu
mengeluarkan biaya nonproduksi tersebut.
“Usaha gerobakan cukup modal gerobak dan peralatan masak. Dia bisa keliling tanpa harus bayar sewa tempat,” ujarnya.
Dalam hitungan Mada, biaya pengeluaran untuk sewa tempat bisa
mencapai 20 persen lebih dari biaya produksi, tergantung lokasi usaha
yang disewa. Belum lagi investasi perabotan.
Terkait dengan pasang surutnya tren usaha kecil selama ini, Mada
menganggapnya wajar. Itu merupakan siklus dalam bisnis, terutama di
bisnis kuliner.
Dalam pengamatan dia, bisnis kuliner merupakan salah satu bisnis yang
paling cepat mengalami pasang surut. Bahkan, jarang sekali usaha
kuliner skala kecil yang bisa bertahan lebih dari lima tahun.
“Biasanya, paling mereka bertahan selama tiga tahun. Setelah itu, bisnisnya mulai menurun,” ujarnya.
Penyebabnya, konsumen cepat bosan dengan makanan. Apalagi kalau
sepanjang tahun yang disajikan itu-itu saja. Selain itu, bisnis makanan
juga lebih gampang ditiru oleh pelaku usaha lainnya.
“Misalnya, kita bikin siomay rasa A, besoknya orang lain bisa bikin
produk yang sama dengan ditambah inovasi sedikit. Dengan layanan yang
jauh lebih baik, maka pelanggan kita bisa pindah,” ujarnya.
Membangun merek
Pasang surut tren usaha mikro, khususnya kuliner, yang cukup cepat
juga diakui oleh Direktur Indonesian Entrepreneur Society (IES), Bambang
Suharno.
Menurut Bambang, tak sedikit orang yang ingin buka usaha, tapi maunya
yang gampang saja. Asal punya modal, ikut tren yang sedang laku, lalu
bikin usaha serupa.
“Yang begini yang nggak bisa bertahan lama, karena pasar kuliner gampang jenuh,” ujarnya.
Bambang memberikan kiat, meski usaha yang ditekuni skala rumahan atau
gerobakan, membangun merek sangat penting. Jika merek sudah terbangun
dengan kuat, secara perlahan bisa menjadi ikon.
Jika sudah menjadi ikon tertentu, meskipun skala mikro, maka usaha
bisa bertahan lebih lama. Bahkan, tak menutup kemungkinan akan
berkembang menjadi lebih besar.
“Apa bedanya orang jualan kopi seduh di kedai biasa dengan di
Starbucks? Kalau disuruh milih, orang akan memilih Starbucks. Padahal,
sama-sama kopi murni yang disuguhkan. Ini karena merek yang kuat,”
ujarnya.
Menurut Bambang, kesuksesan sebuah usaha, tak melulu dilihat dari
skalanya. Sebab, tak sedikit usahanya terlihat kecil, namun ternyata
omzetnya cukup besar.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar